Pages

Rabu, 01 September 2010

Belajar Matematika Dengan Puisi

Suatu waktu, ketika mengawali pelajaran pada jam ke delapan (12.45 Wib), saya meminta para siswa untuk membuat sebuah puisi. Pada awalnya para siswa hanya terbengong. Untuk beberapa saat mereka seolah tidak percaya dengan apa yang akan dilakukan. “Pelajaran matematika membuat puisi?” mungkin pertanyaan itu yang singgah di benak para siswa, sebab hal itu mungkin menjadi pengalaman pertama bagi mereka. Saya pun kembali meyakinkan mereka, bahwa pelajaran jam tersebut adalah membuat puisi, tapi “Puisi Matematika”. Kontan berbagai komentar dan pertanyaan muncul dari para siswa. Setelah saya memberikan penjelasan secukupnya, para siswa pun dengan bersemangat mulai membuat “Puisi Matematika”, sambil masih menyisakan senyum di bibirnya. Mungkin mereka masih menganggap pelajaran siang itu cukup aneh. Namun dari ekspresi yang tercermin dari raut wajah mereka, saya yakin mereka cukup senang dan menikmati pelajaran matematika jam terakhir tersebut.
“Puisi Matematika” yaitu puisi yang disusun dengan menggunakan istilah-istilah, rumus-rumus, dan simbol-simbol dalam matematika dan didasarkan pada konsep-konsep matematika, memang masih terdengar asing di telinga kita. Selama ini kita cenderung menganggap bahwa puisi dan matematika merupakan dua hal yang terpisah dan tidak memiliki keterkaitan satu sama lain. Puisi dan matematika dianggap sebagai dua kutub yang berbeda, puisi adalah puisi dan matematika adalah matematika, yang satu sangat erat kaitannya dengan ekspresi perasaan (rasa, hati) dan yang lainnya berkait dengan penalaran (pikiran, akal budi).
Matematika sebagai bagian integral dari kebudayaan manusia, mengandung dimensi kemanusiaan dan memiliki keindahannya tersendiri serta memiliki banyak sisi menarik. Namun seringkali hal tersebut tidak dihadirkan dalam proses pembelajaran matematika. Akibatnya siswa mengenal matematika tidak secara utuh. Matematika hanya dikenal oleh siswa sebagai kumpulan rumus-rumus dan simbol-simbol belaka, tanpa dapat memahami makna dibalik rumus atau simbol-simbol tersebut.
Pembelajaran matematika yang mengabaikan sisi kemanusiaan dan keindahan matematika, menjadikan matematika dipandang sebagai ilmu yang kering dan membosankan. Tanpa menghadirkan sisi kemanusiaan dan keindahan matematika dalam proses pembelajaran matematika, guru hanya akan mengajarkan kepada siswa untuk menghitung dan menyelesaikan soal-soal. Guru hanya seperti mengajarkan siswa untuk membaca dan menulis, guru tidak mungkin dapat mengajar siswa untuk mengapresiasi, menyukai dan mencintai, atau bahkan untuk sekedar memahami matematika (Tymoczko, 1993).
Dan “Puisi Matematika” dapat menjadi salah satu alternatif model pembelajaran yang bisa mendekatkan dan mengakrabkan siswa dengan istilah, rumus, simbol maupun konsep-konsep matematika, sehingga siswa dapat lebih memahami makna dibalik rumus, simbol, maupun konsep matematika tersebut. Dengan demikian matematika tidak melulu dipandang sebagai ilmu yang kering dan abstrak, tidak manusiawi dan sama sekali tidak memiliki keindahan.
Matematika Sebagai Bahasa
Philip J. Davis dari Brown University mengungkapkan bahwa “Mathematics is partly a language. Certain things are communicated by it. Things can be described, predicted, and prescribed by it. The ability of mathematics to provide framework, of reality and of action, and its ability to change our perception of what is, is very great.”
Bahasa adalah suatu sistem yang terdiri dari lambang-lambang, kata-kata, dan kalimat-kalimat yang disusun menurut aturan tertentu dan digunakan orang untuk berkomunikasi. Dengan pengertian tersebut, kiranya matematika dapat dipandang sebagai suatu bahasa, karena dalam matematika juga terdapat sekumpulan lambang/simbol, kata maupun kalimat.
Bahasa matematika digunakan oleh para matematikawan maupun oleh mereka yang belajar dan mengajar matematika. Komunitas pengguna bahasa matematika bercorak global/universal/internasional dan tidak dibatasi oleh suku bangsa, negara, budaya, maupun bahasa sehari-hari yang mereka gunakan. Dan makna yang dikomunikasikan dalam dan oleh matematika bisa bermacam-macam.
Suatu ungkapan dalam bahasa akan kehilangan makna yang sebenarnya atau memperoleh makna yang tidak seperti dimaksudkan apabila terlepas dari konteksnya. Demikian pula matematika, jika dipahami terlepas dari kekayaan konteks kehidupan dan peradaban manusia, akan tereduksi menjadi sekumpulan lambang dan rumus dan seperangkat teknik kalkulasi dan penalaran yang kering dan tidak bermakna, serta sama sekali tidak menarik. (Susilo, Majalah Basis, Juli-Agustus 2004).
Puisi dan Matematika
Menurut Rachmat Djoko Pradopo (1999), puisi itu mengekspresikan pemikiran yang membangkitkan perasaan, yang merangsang imajinasi panca indera, dinyatakan dengan menarik dan memberi kesan. Puisi itu merupakan rekaman dan interpretasi pengalaman manusia yang penting, digubah dalam wujud yang paling berkesan. Dari pengertian tersebut, jelas bahwa puisi juga merupakan ekspresi pemikiran, tidak melulu hanya melibatkan perasaan semata. Dengan demikian, suatu pemikiran, termasuk pemikiran dalam matematika, dapat digubah menjadi sebuah puisi. Selain itu, seperti sudah dipaparkan di atas, matematika juga merupakan suatu bahasa. Dan sebagai bahasa kiranya matematika juga dapat digunakan untuk mengekspresikan pemikiran, gagasan, maupun perasaan secara menarik dan mengesan dalam suatu bentuk puisi. Ada ungkapan bahwa “Matematika dan puisi adalah bahasa universal umat manusia”.
Dusa McDuff dalam Mathematical Notices vol. 38, no, 3, March 1991 menceritakan perjumpaannya dengan Gel’fand yang membawanya pada pandangan baru tentang matematika. Gel’fand menyatakan kepadanya bahwa matematika itu ibarat sebuah puisi. Dibalik artikel matematika yang panjang dengan rumus-rumus yang berisikan ide-ide permulaan yang masih samar yang hanya bisa ditunjukkan, tetapi belum bisa dijelaskan secara gamblang, Gel’fand menemukan “landak yang tiba-tiba menyelinap muncul dari persembunyiannya” di antara barisan rumus-rumus tersebut. Sebelum perjumpaan itu, McDuff selalu berpikir bahwa matematika merupakan hal yang sudah seperti itu: rumus adalah rumus dan aljabar adalah aljabar.
Keterkaitan antara puisi dan matematika juga dapat dilihat dari beberapa pernyataan berikut. William James misalnya, mengungkapkan bahwa “The union of the mathematician with the poet, fervor with measure, passion with corectness, this surely is the ideal”. Sementara itu Weierstrass menyatakan “Tidak ada matematikawan yang dapat menjadi seorang ahli matematika dengan sempurna, kecuali jika ia juga seperti seorang sastrawan.” Dalam The Humanistic Aspects Of Mathematics and Their Importance, Philip J. Davis menuliskan “Matematika, seperti juga puisi, mempunyai ambiguitas dan tidak dapat dirumuskan secara total”. Keterkaitan antara puisi dan matematika juga disampaikan oleh Aleksandr Sergeyevich Pushkin (1799–18370), “Inspirasi dibutuhkan dalam geometri, sebanyak dalam puisi.” Hal senada juga diungkapkan oleh Gustave Flaubert (1821 – 1880) bahwa “Poetry is as exact ascience as geometry”.
Tawa dari Kelas Matematika
Setelah para siswa menyelesaikan “Puisi Matematika”-nya, saya meminta beberapa siswa untuk maju di depan kelas membacakan “Puisi Matematika” karyanya. Gelak tawa dan berbagai komentar pun muncul di kelas matematika siang hari itu. Memang puisi itu terdengar lucu, dan terasa agak janggal di telinga, karena bahasa ungkapnya berbeda dengan bahasa puisi yang selama ini mereka kenal. Selain itu, kelucuan itu terjadi karena istilah, rumus dan simbol matematika tersebut selama ini jarang mereka rangkai dan mereka pergunakan secara bersama-sama untuk mengungkapkan sesuatu. Mereka lebih banyak menggunakan rumus, atau simbol melulu untuk mengerjakan soal-soal matematika.
Setelah siswa selesai membacakan puisinya, saya mengajak mereka untuk mengapresiasi dan mengkritisi “Puisi Matematika” tersebut. Mulai dari yang paling umum, apakah puisi tersebut bermakna, dan bisa mengungkapkan secara jelas gagasan/ide yang ingin disampaikan oleh penulisnya? Bagian mana yang dirasa agak janggal? Adakah istilah, rumus atau simbol yang digunakan dalam puisi tersebut yang tidak sesuai? Jika ada yang tidak sesuai, seharusnya istilah, rumus atau simbol apa yang pas untuk digunakan? Beberapa pertanyaan tersebut berguna untuk membantu siswa mengapresiasi dan mendiskusikan “Puisi Matematika” mereka.
Dari diskusi tersebut, secara tidak langsung siswa memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang istilah, rumus, simbol dan konsep dalam matematika. Dan diskusi tersebut sekaligus menjadi ruang bagi para siswa untuk merekonstruksi kembali pemahaman terhadap istilah, rumus, maupun simbol dalam matematika yang selama ini mungkin dipahami secara keliru. Selain itu, dari diskusi tersebut siswa dapat melihat keterkaitan matematika yang dipelajarinya dengan realitas kehidupan mereka sehari-hari, bahwa apa yang dipelajari dalam matematika sebenarnya terkait dengan kehidupan nyata, bahkan para siswa mungkin pernah menemukan atau mengalaminya sendiri. Dengan demikian pembelajaran matematika akan lebih bermakna bagi siswa. Lebih jauh, kesempatan itu menjadi ruang bagi siswa untuk mengekspresikan diri; ide, gagasan dan kreatifitasnya.
Berdasarkan pengalaman, “Puisi Matematika” dapat menjadi sebuah alternatif model pembelajaran dalam situasi kelas yang tidak menguntungkan seperti ketika kelelahan, kebosanan dan kejenuhan mulai menghinggapi para siswa dalam mengikuti pelajaran matematika, khususnya pelajaran matematika pada jam-jam siang hari. Dengan “Puisi Matematika” ternyata di kelas matematika kami bisa tertawa bersama, ketika ada siswa yang membacakan “puisi matematika”nya.
Di Balik “Puisi Matematika”
Agar siswa dapat mempelajari matematika dengan baik, salah satu yang harus dilakukan adalah mengetahui konsep-konsep dasar dan teknik-teknik sederhana dalam matematika, dan “Puisi Matematika” dapat membantu untuk hal tersebut, demikian Sandra Liatsos mengungkapkannya dalam buku Poems to Count on: 30 Terrific Poems and Activities to help Teach Math Concept. “Puisi Matematika” dapat digunakan sebagai media untuk membantu siswa mengingat konsep-konsep kunci dalam matematika. Selain itu, “Puisi matematika” dapat menjadi jalan untuk membantu siswa melihat berbagai keterkaitan antara matematika dengan bidang-bidang yang lain.

Membuat “Puisi Matematika” merupakan salah satu cara untuk memfasilitasi proses berpikir. Ketika seseorang merangkai kalimat untuk membuat puisi dengan menggunakan istilah, rumus, maupun simbol tertentu dalam matematika, maka di sana dibutuhkan proses untuk berpikir. Orang akan berpikir terlebih dulu, berusaha memahami arti atau makna istilah, rumus, atau simbol matematika tersebut, baru kemudian bisa menyatakannya dalam satu kalimat dan merangkai kalimat-kalimat tersebut menjadi sebuah puisi. Dari proses tersebut akan dapat diketahui sejauh mana pemahaman siswa terhadap istilah, rumus, atau simbol-simbol matematika tersebut.
Dari puisi yang ditulis dengan menggunakan istilah-istilah, rumus-rumus, dan simbol-simbol matematika itu, terlihat sejauh mana siswa menguasai dan memahami konsep matematika dan keterkaitan antara satu konsep dengan konsep yang lainnya. Ketika membuat puisi matematika tersebut sebenarnya siswa merekonstruksi kembali pengetahuan, pemahaman mereka tentang konsep-konsep matematika yang sudah dipelajari sebelumnya. Dalam puisi tersebut konsep matematika berperan sebagai bahasa ungkap. Tanpa menguasai konsep matematika, siswa akan kesulitan mengungkapkan idenya ke dalam bentuk puisi matematika.
Membuat puisi matematika, sebenarnya lebih ditujukan untuk membantu siswa ‘membahasakan’ matematika. Kecenderungannya, seringkali siswa hanya hafal dengan rumus dan simbol-simbol matematika, tapi siswa tidak memamahami arti, tanpa tahu makna di balik rumus ataupun simbol-simbol tersebut. Jika siswa mampu ‘membahasakan’ matematika, maka siswa akan dapat melihat keindahan matematika yang mengagumkan. Bagaimana sesuatu yang dibahasakan dengan begitu panjang (jika dinyatakan dengan menggunakan bahasa sehari-hari), ternyata dapat dinyatakan dengan singkat dalam matematika, dengan mengunakan lambang atau simbol-simbol matematika. Inilah salah satu keindahan matematika yang bisa jadi selama ini tidak pernah ditangkap oleh siswa, sebaliknya, dianggap tidak menarik, lantaran tidak paham makna di baliknya.
Namun demikian, model pembelajaran dengan “Puisi Matematika” tersebut juga memiliki keterbatasan. Model pembelajaran demikian tidak mungkin digunakan sebagai model pembelajaran utama, namun lebih ditujukan sebagai model pembelajaran alternatif dan pendukung saja. Jelas bahwa “Puisi Matematika” tidak mungkin diberikan setiap kali pelajaran matematika. “Puisi Matematika” dapat diberikan pada situasi-situasi tertentu atau pada saat akhir semester. Selain untuk menjaga agar “Puisi Matematika” tidak kehilangan daya tariknya bagi siswa, biasanya jika diberikan pada akhir semester perbendaharaan istilah, rumus, simbol dan konsep yang diketahui siswa relatif semakin banyak. Dan “Puisi Matematika” tersebut dapat menjadi media untuk evaluasi dan refleksi, untuk mengevaluasi sejauh mana pemahaman siswa terhadap keseluruhan materi pembelajaran, maupun untuk berefleksi bagaimana proses siswa dalam menjalani pembelajaran matematika selama satu semester atau satu tahun pelajaran.@

HJ. Sriyanto
Guru SMA Kolese Debritto

0 komentar

Posting Komentar